Disambut Gelombang Demo, Pemerintah Tepis Hoaks 

Nasional | Kamis, 08 Oktober 2020 - 08:30 WIB

Disambut Gelombang Demo, Pemerintah Tepis Hoaks 
Dari kiri, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil serta Kepala BKPM Bahlil Lahadalia usai memberikan keterangan kepada wartawan soal Undang-Undang Cipta Kerja di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (7/10/2020). (FEDRIK TARIGAN/JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- TIGA hari pascapengesahan, gelombang pro kontra dan demo di berbagai daerah muncul akibat UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. Bahkan kericuhan mewarnai unjuk rasa di beberapa daerah. Seperti di depan kantor DPRD Jawa Barat, kemarin (7/10). Mahasiswa dari berbagai kampus yang turun ke jalan mencapai ribuan. Lebih banyak daripada aksi sehari sebelumnya.

Demo yang awalnya berjalan tertib itu berakhir ricuh dan terjadi bentrokan dengan petugas. Berdasar keterangan dari posko medis kampus Unisba, korban yang tercatat sebanyak 138 mahasiswa dari berbagai kampus. Ada pula sejumlah siswa SMA dan SMK. 


Demo juga terjadi di Riau. Mahasiswa Universitas Islam Riau (UIR) mendatangi Gedung DPRD Riau menyampaikan aspirasi. Meski sudah diberi kesempatan menyampaikan aspirasi, mahasiswa yang bertahan akhirnya di bubarkan pihak kepolisian. Sebab, selain tidak memiliki izin, aksi demonstrasi tersebut menyebabkan satu orang polisi terluka akibat lemparan batu.

Dituding sebagai sumber masalah, pemerintah pun tak tinggal diam. Rabu (7/10), 12 menteri menggelar konferensi pers bersama dan menampik satu per satu kabar miring terkait pengesahan UU Cipta Kerja.

Di antaranya Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif.

Belasan menteri itu berada di bawah komando Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. 

Rombongan itu menjelaskan satu per satu poin-poin yang menyulut perdebatan dari mulai ketenagakerjaan, amdal, pertanahan, dan ekonomi. Airlangga menegaskan, salah satu informasi simpang siur terkait UU Cipta Kerja adalah terkait ketenagakerjaan, terutama tentang upah minimum dan gaji. 

"Saya tegaskan upah minimum tidak dihapuskan, tetapi tetap mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi, dan salary yang diterima tidak akan turun," ujarnya.

Menurut dia, banyak hoaks tentang poin ketenagakerjaan yang beredar di kalangan masyarakat dan memicu perdebatan. Terkait dengan pesangon, dia menjamin tetap diatur dalam beleid tersebut, bahkan ada jaminan kehilangan pekerjaan.

Selain itu, waktu kerja dan istirahat minggu tetap berlaku sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Sementara untuk pekerjaan dengan sifat tertentu yang membutuhkan fleksibilitas, hal itu diatur dalam pasal 77 bab Ketenagakerjaan. Ketum Partai Golkar itu menegaskan, pengusaha wajib memberikan cuti dan waktu istirahat, waktu ibadah. 

"Demikian juga terkait dengan cuti-cuti baik untuk melahirkan, menyusui, haid tetap sesuai dengan Undang-Undang, tidak dihapus," tegasnya.

Dia juga memastikan bahwa pekerja outsourcing akan mendapatkan jaminan perlindungan upah dan kesejahteraan. Selain itu, UU Cipta Kerja juga tetap mengatur tenaga kerja asing (TKA).

"Untuk TKA tentu yang diatur mereka yang dibutuhkan untuk perawatan, maintenance, ataupun tenaga peneliti yang melakukan kerja sama ataupun mereka yang datang sebagai buyer," katanya.

Kepastian soal UM ini juga ditekankan kembali oleh Menaker Ida. Dia mengatakan, ketentuan soal UM tetap diatur di mana ketentuannya juga mengacu UU 13/2003 dan PP 78/2015. Memang dalam RUU terdapat penegasan variable dan formula dalam perhitungan upah berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. "Formula detailnya diatur PP," katanya. Selain itu, ketentuan upah minumim kota/ kabupaten juga tetap dipertahankan. 

Kemudian, dalam RUU ini juga menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran UM. Artinya, UM tidak bisa ditangguhkan lagi seperti yang sudah-sudah. Di samping itu, dalam rangka memperkuat perlindungan upah serta meningkatkan UMKM, RUU ini turut mengatur ketentuan pengupahan bagi sektor usaha mikro dan kecil. 

"Sekali lagi kita harus berpikir, memberikan perlindungan itu tidak hanya pada pekerja formal saja. Tapi, juga harus memastikan perlindungan bagi pekerja sektor usaha mikro kecil," paparnya.

Disinggung soal penetapan UM tahun depan, Menaker menegaskan, belum akan menggunakan RUU ini. Hal ini berkaitan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang masih negatif akibat pandemi. Dia mengatakan, pihaknya telah mendapat masukan dari dewan pengupahan nasional mengenai penetapan UM 2021. Penetapan diusulkan untuk mengikuti UMP 2020.

"Karena kalau kita paksakan mengikuti PP 78/2015 atau UU baru ini pasti akan banyak perusahan yang tidak mampu membayar UMP-nya," paparnya.

Diakuinya, jika merujuk pada PP 78/2015, disebutkan bahwa dalam kurun waktu lim atahun harus ada peninjauan komponen kebutuhan hidup layak (KHL). KHL ini masuk dalam hitungan penentuan UMP. Nah, pembaharuan ini harusnya dilakukan di tahun ini untuk penetapan UMP 2021.

"Memang ada perubahan komponen KHL untuk 2021. Namun demikian, kita semua tahu akibat pandemi pertumbuhan ekonomi minus," jelasnya. 

Sehingga, tidak memungkinkan bagi pemerintah menetapkan secara normal sebagaimana peraturan pemerintah maupun perturan perundang-undangan.

Mengenai PHK, Ida kembali menekankan bahwa dalam RUU ini tetap mengatur mengenai ketentuan persyaratan dan tata cara PHK. Serikat pekerja/ buruh pun diberikan ruang dalam memperjuangkan kepentingan anggota yang sedang dalam proses PHK. Bahkan, RUU ini akan semakin mempertegas pengaturan mengenai upah proses bagi pekerja/buruh selama PHK masih dalam proses penyelesaian sampai putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.

"Saat ada PHK masih dalam proses, maka buruh masih dapatkan upah. Ini ditegaskan di RUU Cipta Kerja," jelasnya.

Selain itu, dalam rangka memberi jaminan sosial ke pekerja/buruh yang terkena PHK, RUU Ciptaker juga mengatur ketentuan mengenai jaminan kehilangan pekerjaan (JHP). Yang manfaatnya berupa uang tunai, pelatihan kerja, hingga terkoneksi dengan informasi ketenagakerjaan. Sehingga, pekerja bisa mendapat sangu, upskilling, dan akses penempatan kerja. Dengan begitu, nantinya, pekerja/buruh bisa dapat kemudahan untuk memperoleh pekerjaan baru.

Menurutnya, RUU ini lebih memberikan kepastian bahwa hak pesangon itu diterima oleh pekerja buruh dengan adanya skema ini. Tentunya, di samping pesangon yang diberikan pengusaha. "Pekerja mendapatkan JHP yang ini tidak dikenal dalam UU 13 2003," ungkapnya.

Nantinya, JHP bakal dikelolah oleh BPJamsostek. Di mana, modal awal disiapkan sebesar Rp6 triliun oleh pemerintah.

Dalam kesempatan itu, Ida juga menegaskan bahwa tidak benar jika ketentuan sanksi pidana ketenagakerjaan dihapus. Dia mengatakan, bahwa ketentuan mengenai sanksi pidana ketenagakerjaan semuanya dikembalikan seperti UU 13/2003.

"Saya kira kita bisa tahu, banyak distorsi informasi di masyarakat yang sesungguhnya jauh dari kenyataan," ungkap politikus PKB tersebut.

Misalnya lagi soal waktu kerja dan istirahat. Aturannya tetap mengikuti UU ketenagakerjaan dengan menambah ketentuan baru menegnai pengaturan waktu kerja dan istirahat pada sekto rusaha dan pekerjaan tertentu.

"Kenapa diatur? Kita mengakomodir tuntutan perlindungan bagi pekerja/buruh dalam bentuk-bentuk hubungan kerja dan sektor tetenteu di era ekonomi digital saat ini," papar Ida.

Terkait dengan amdal, Men LHK Siti Nurbaya Bakar menepis anggapan bahwa UU Cipta Kerja menghapuskan izin lingkungan. "Berkaitan dengan amdal, tidak benar bahwa ada anggapan terjadi kemunduran dengan perlindungan lingkungan. Tidak benar," kata dia.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook